Minggu, 29 Januari 2012

The Black Painting


Aku mencintai dengan sederhana, tanpa tahu darimana datangnya, tanpa tahu apa alasannya. Yang aku tahu hanya orang itu adalah kamu, satu- satunya,”. – Sidney Hudson


Sid dan Aku adalah mantan kekasih. Beberapa tahun yang lalu kami adalah pasangan yang fenomenal. Begitu sempurnanya hubungan kami, sampai kami dijuluki seperti ‘Barbie dan Ken’. Sepasang kekasih sempurna dengan cinta semanis cerita dongeng. Hubungan kami seperti impian naïf semua gadis kecil yang membayangkan dirinya seorang puteri raja dan bertemu dengan seorang pangeran berkuda putih.

Perpisahan kami membuat gempar kota kecil tempat kami tinggal. Banyak yang merasa heran bahkan meminta pernyataan langsung pada kami karena kebanyakan dari mereka tak mau percaya. Bagaimana mungkin sepasang ‘love bird’ yang menjadi icon panutan kota Baverley itu bisa tiba-tiba berpisah? Tak ada orang ketiga, dan kemungkinan ada yang berhasil menjadi orang ketiga diantara kami hanyalah nol persen. Tak ada keributan yang terlihat menjelang perpisahan. Dan memang tak ada satu hal pun yang patut diributkan. Hanya ada satu alasan, dan alasan itu baru diketahui Sid setelah kami berpisah bertahun-tahun kemudian.

Baverley City adalah sebuah kota kecil di dekat perbatasan ibukota. Penduduknya beraneka ragam, dan kebanyakan mereka pegawai perusahaan swasta di ibukota. Kota itu bukan tujuan utama para turis mancanegara, tetapi karena letaknya yang strategis sekaligus tergolong kota dengan asitektur yang indah maka tak jarang turis-turis tersebut mampir sejenak di Baverley City. Baverley City adalah kota kelahiranku, disana aku menghabiskan masa kecil dan sebagian masa remajaku sebelum akhirnya pindah ke ibukota.
Kepindahanku bagai angin segar yang berhembus di musim semi. Karena itu memperbesar peluang untuk karierku dan memperkecil luka hatiku dengan ingatanku tentang Sid. Hampir seluruh pelosok kota Baverley bagai ruang jagal bagiku. Tiap aku melangkahkan kaki, kaca etalase seakan berubah bentuk menjadi sebuah proyektor yang memutar slide kenangan tentang aku dan Sid. Setiap orang yang kutemui dijalan tak bisa kukenal jelas karena wajah mereka berubah menjadi wajah Sid. Betapa hari-hari setelah perpisahanku dengan nya adalah hari yang penuh dengan mimpi buruk tiada akhir. Dunia alam mimpi mungkin lebih baik buatku, paling tidak mimpi buruk akan hilang ketika kita bangun tidur.

Tapi tidak buatku, karena kenyataan bahwa kami sudah berpisah adalah mimpi buruk yang berada di dunia nyata. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa aku sudah berpisah dengannya. Pahitnya lagi, akulah yang memutuskan hubungan dengannya.

New York:

You remember me somehow, Now you though leave me now, I will stay in your heart, And when things fall a part, You remember one day..’ -(One Day In Your Life - Michael Jackson)
 “Bruuk!”

Jessica menabrak meja kerjanya. Dia selalu kikuk tiap kali mendengar bait dari lagu Michael Jackson itu diputar.
“Kau tak apa Jess?,” Tanya Mike rekan kerjanya. Jess meringis menahan sakit sambil mengusap tulang keringnya yang terantuk keras.
“Tak apa, tenang saja,”
Jessica Marshall adalah jurnalis tabloid gossip sekaligus entertain berbakat yang tinggal di ibukota. Dia seorang gadis berusia dua puluh tujuh tahun yang menarik. Pribadinya yang hangat dan mudah akrab dengan orang membuatnya dengan mudah mencapai popularitas dan jenjang karier yang bagus sebagai jurnalis muda yang kharismatik. Tak hanya mencari berita, keberadaannya kadang diburu juga oleh sesama wartawan gossip karena dia juga berprofesi sebagai model. Sebagai jurnalis, sebenarnya sosoknya sangat mencolok. Meskipun Dia berusaha menyembunyikan keindahan tubuhnya dengan balutan kemeja dan celana kerja yang kaku dan menghindari polesan make up, tetap saja kecantikan alami yang ada tetap terlihat dengan jelas.

Jess berambut pirang panjang bergelombang alami pada ujungnya tanpa harus repot kesalon untuk memblow-dry tiap hari, yang membuat iri hampir semua teman wanitanya. Kulit wajahnya halus dan berkilau dengan rona merah alami di kedua pipinya yang tirus. Bibirnya mungil dan tipis, tubuhnya bisa dibilang tipis namun entah mengapa lekukan dan timbunan lemak benar-benar pas berada ditempat yang seharusnya. Secara fisik, Dia adalah gadis yang sempurna. Hanya saja, dibalik kesempurnaan itu semua Jess menyimpan banyak hal yang tak banyak diketahui orang terdekatnya. Termasuk oleh Ben, kekasihnya.

“Nona Jessica?” Tanya seorang pria yang menghampiri meja nya di sebuah coffee shop.
“Ya,” jawab Jess datar
“Ah, suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan anda. Saya Tom—Thomas Ronson pengagum Benjamin,”
“Ah, terima kasih,” jawab Jess sambil menarik bibirnya dan memaksa untuk tersenyum setulus mungkin. Dia tahu kemana arah pembicaraan selanjutnya.
“Boleh saya duduk?,” wajah Tom berkerut, menahan antusias besar dan segan pada wanita yang duduk dihadapannya.
“Silahkan”
“Terima kasih!” senyum Tom mengembang dan menempatkan dirinya dikursi kosong didepan Jessica.
Well..begini. Saya adalah pengagum berat kekasih anda, saya hampir selalu hadir di tiap pameran karya nya. Bagi saya, dia adalah setengah dewa. Dewa seni.”
“Dan saya terkejut sekaligus antusias ketika tahu bahwa Ben mempunyai hubungan cinta dengan seorang wanita, dan ternyata wanita tersebut anda. Jessica Marshall yang dikenal sebagai jurnalis sekaligus model ibukota.” Jelas Tom panjang lebar, matanya bersinar penuh semangat ketika menceritakan hal tersebut pada Jess.
“Saya merasa ikut bahagia. Karena seperti yang kita tahu, seorang Benjamin Wolfski adalah orang yang menghindari komitmen. Yah, berita tentang kedekatannya dengan beberapa wanita memang sering beredar. Namun tak ada satupun dari mereka yang benar- benar dijadikan sebagai kekasihnya. Sampai akhirnya secara tiba-tiba Dia sendiri yang mengumumkan bahwa Dia telah bertunangan dengan Jessica Marshall.”

Jess menghirup kopinya dalam-dalam, dibiarkannya Tom tetap bercerita sampai habis. Ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan seorang fans berat kekasihnya. Dan dia sudah hafal benar bagaimana mereka dengan sinar mata yang sama seperti Tom menceritakan tentang hal yang terdengar seperti rekaman wawancara yang diputar berulang-ulang.
“Sejumlah seniman muda dan para fans fanatik seperti saya kaget dan setengah mati ingin tahu apa alasan Ben akhirnya bisa luluh dan berkomitmen hanya pada satu wanita, tapi ketika tahu wanita tersebut adalah anda sepertinya pertanyaan-pertanyaan itu tak lagi butuh jawaban.” Terang Tom mengakhiri ceritanya. Sinar matanya berkilat-kilat dan senyumnya mengembang tulus. Bagai seorang ibu yang melihat anak kesayangannya lulus ujian dengan nilai bagus.
Yah, mereka memang berpikir aku lulus dari kriteria wanita yang pantas untuk mendampingi seorang seniman muda berbakat sekelas Benjamin Wolfski. Mereka memang menilaiku. Aku seperti barang yang lulus uji dan pantas dipajang di etalase toko barang mewah.

Jess selalu merasa ulu hatinya ngilu setiap memikirkan betapa Dia dinilai sedemikian rupa hanya karena fisiknya sempurna dan akhirnya pantas mendampingi kekasihnya. Jess lebih suka dinilai dari hasil pekerjaannya. Dan para pengagum Ben rata-rata hanyalah menilai Jess pantas karena karirnya sebagai seorang model, bukan seorang jurnalis. Jess benci itu.

Telepon genggam Jess berbunyi ketika Dia tengah menulis sebuah artikel yang baru didapatnya. Tertera nama Ben di layar. Dengan cepat Jess menekan tombol hijau dan mengucapkan salam semanis mungkin.
“Hallo sayang,”
“Hai, apa kabar calon istriku siang ini?” ucap Ben diseberang.
“Dia sangat merindukanmu..” goda Jess mesra.
“Aku juga merindukanmu sayang..” Ben terdengar tulus mengucapkan kalimat itu.
Dan selanjutnya terjadi percakapan sepasang kekasih selama lima belas menit sampai akhirnya Jess menutup telepon dan menatap Mike yang sedari tadi menirukan gerakan mencium seseorang yang tak ada di depannya.
“Puas kau Mickey” geram Jess kesal
“Belum, belum cukup puas untuk menirukan seluruh kegombalan sepasang merpati yang sedang jatuh cinta. Hmm..apa ku bilang tadi? Sepasang merpati? Kukira salah satunya adalah burung besi”
Dan sebuah pena melayang tepat di kepala Mike. Mike tertawa puas sambil berjalan ke mejanya.
“Kebetulan aku kehilangan pena ku, terima kasih telah memberi yang baru,”
“Sekali lagi meledekku, bukan hanya pena yang akan kuberi. Bisa saja ada cangkir yang melayang dan jatuh di kepalamu Mickey” umpat Jess setengah bercanda.
Mike Thor adalah rekan sekaligus teman dekat Jess. Mike hapal benar tabiat Jess. Mike dan Jess berteman sejak mereka sama-sama masuk kekantor itu. Mike tahu, dibalik kesempurnaan Jessica Marshall sebagai wanita ada kemaskulinan di sikap Jess. Dia lebih keras hati dan nekat dibanding wanita cantik pada umumnya. Itulah mengapa Mike melihat betapa lucunya seorang Jess yang berubah menjadi manis ketika berhadapan dengan Ben.
“Kamu seperti kucing Persia dengan pita merah muda dileher ketika berhadapan dengan Ben. Sangat bertolak belakang dengan kejantananmu bila mencari berita,”
Kali ini sebuah buku seratus halaman yang melayang di atas kepala Mike.
“Sial, hampir saja lemparanku bernilai seratus!” umpat Jess bergurau.
Mike tidak marah dilempari barang oleh Jess. Jess itu seperti kawan lelaki baginya. Mike bisa bebas bercerita dan bersikap seperti sikapnya terhadap adik lelakinya bila berhadapan dengan Jess. Bagi Mike, Jess itu wanita unik. Langka. Penampilannya sebagai wanita sangatlah sempurna, namun sikap dan sifat aslinya sangat bertolak belakang dengan penampilannya.

“Jadi, bagaimana perkembangan sang dewa seni. Apa karya terbarunya kali ini?” Tanya Mike yang sempat mencuri dengar pembicaraan Jess tadi.
“Buku, dan dia sendiri yang membuat ilustrasi di sampul dan halamannya”
“Kapan peluncuran dan konfrensi pers nya?”
“Sabtu..” tampak Jess menunda kalimatnya
“Di Musee Du Louvre, Paris” lanjut Jess setengah hati.
“Wow, dan kau akan berada di Paris akhir pekan ini?” Tanya Mike antusias
“Tidak, aku tidak bisa menemaninya. Ada jadwal pemotretan, hanya saja masih tentative. Aku harus menunggu kabar dari manajer photographer Jake Peterson, karena beliau sedang dirawat karena penyakit typus.”
“Kau tahu betapa Ben lebih mementingkan profesionalisme kerja dibanding apapun. Dia minta aku tetap disini dan menunggu kabar dari manajer tersebut,” ungkap Jess
Mike mengerti penjelasan Jess, dan betapa sedihnya Jess tidak bisa terbang ke Negara Romantis tersebut untuk menemani kekasihnya.
“Bagaimana bisa Ben meluncurkan karyanya di Negara tersebut? Mengapa tidak di London atau New York seperti biasanya?”
“Karena bukunya menceritakan tentang sejarah dan beberapa karya seni kebanggaan Perancis. Dan kepala museum Musee Du Louvre sendiri yang meminta secara khusus pada Ben agar peluncurannya dilakukan di museum tersebut. Dimana disana terdapat beberapa karya yang ada didalam buku yang ditulis Ben,”
“Dia benar-benar hebat. Kau beruntung memilikinya” Mike menatap lurus pada Jess yang berwajah gelisah.
Beruntung? Yeah, sepertinya terlihat begitu.
Jess berpaling, Dia membenamkan diri pada pekerjaannya dan meneruskan artikel yang belum selesai di tulisnya.

Satu e-mail masuk. Jess cepat membuka dan aliran dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Ditatapnya lekat-lekat layar monitor dan mengulang-ulang kalimat yang terpampang di hadapannya. Dan dia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Di alamat e-mail tertulis jelas nama pengirimnya. Sidney Hudson.
‘Apa kabar Jessie?’
‘Maaf bila aku tiba-tiba menghubungimu’
‘Aku mendapatkan alamat e-mail mu dari kawan lama kita, Sabrina Rivera. Kau ingatkan, gadis manis berambut merah yang dulu sekelas dengan kita pada kelas musim panas delapan tahun yang lalu? Dia bilang pernah bertemu denganmu ketika sedang berbelanja di New York. Kau memberinya kartu nama.’
‘Aku bertemu dengannya akhir pekan lalu pada pembukaan sebuah kafe baru di Baverley City. Kebetulan aku hadir sebagai undangan khusus karena aku yang menjadi pengacara pemilik kafe tersebut. Sabrina hadir karena kebetulan dia sedang mengunjungi orang tuanya disana. Kami bercakap-cakap dan kami membicarakan tentang masa lalu kita. Dia ingat masih menyimpan dengan baik kartu nama mu dan memberikan alamat baru serta e-mail mu padaku’
‘Dia benar-benar kawan yang baik. Dia menangis haru ketika aku bilang betapa aku merindukanmu. Dia masih saja menyayangkan perpisahan kita dulu. Baginya kita adalah pasangan bersejarah yang mewujudkan impian setiap gadis tentang percintaan yang sempurna’
‘Dan, yah ceritanya panjang. Tak mungkin aku jelaskan disini. Tapi, mungkinkah kau bersedia menemuiku? Akhir pekan ini aku ada di New York, ada sedikit urusan disana. Aku pikir, mungkin kita bisa sedikit berbincang. Tapi hanya bila kau bersedia, aku tak mau memaksa.’
‘Ada dua orang penting dalam hidupku yang sangat ingin aku temui. Pertama kau, dan satu lagi sahabatku Lucas yang kini menetap di Perancis’
‘Bila kau bersedia menemuiku, aku menunggumu Jumat ini di kafe Bourbon Sally di Boulevard Street jam lima sore. Namun bila tidak, abaikan saja pesan ini’
Jess membaca berulang-ulang pesan tersebut. Jemarinya gemetar saat membalas e-mail itu dengan jawaban singkat, ‘Aku bersedia, Jumat ini jam lima sore di kafe Bourbon Sally’.
Pesan dikirim.

Jessica Marshall mengendarai sedan silver nya menelusuri jalan menuju Boulevard Street. Dia mengenakan short dan cardigan warna khaki yang senada, didalamnya terdapat tanktop hitam berdada rendah yang menyembulkan sepasang gunungan manis miliknya. Wajahnya terpoles make up tipis bernuansa nude.
Satu blok lagi dan aku akan sampai.

Jess memarkir mobilnya di tepi jalan dan melirik cermin sambil menambahkan lipstick berwarna pastel di bibirnya yang tipis. Saat akan membuka pintu mobil, Jess memekik pelan sambil terkesima dengan sosok yang telah berdiri di samping mobilnya. Itu Sid, mantan kekasihnya. Sid membuka pintu mobil dan tersenyum lembut pada Jess saat wanita itu melangkah keluar mobil.
“Hai Jessie”
“Ah, hai Sid” jawab Jess kaku, seluruh tubuhnya terasa dingin. Padahal sekarang musim panas.
“Kau nampak cantik hari ini, ah..maaf, kau memang selalu cantik dan sempurna” ujar Sid sambil mengecup lembut punggung tangan Jess yang dingin.
“Terimakasih” Jess menjawab singkat agar Sid tidak tahu suaranya gemetar.
“Apa aku terlambat? sejak kapan kau tiba disini?” Jess mati-matian berusaha agar suaranya terdengar wajar.
“Tidak, kau tidak terlambat. Aku yang terlalu cepat sampai. Aku tak sabar ingin bertemu denganmu”
“Jujur aku begitu gembira ketika membaca balasan e-mail mu, sesampainya di New York aku tak bisa menutupi kegembiraanku. Aku tak bisa tidur nyenyak karena sepertinya aku terkena serangan jantung. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tidak sabar ingin segera bertemu denganmu.” Kalimat manis itu meluncur dari bibir Sid, yang selalu sukses membuat Jess tersipu malu.
Dia selalu bisa membuatku melayang
Jess memesan secangkir kopi dan duduk di hadapan Sid.
Sebuah pesan masuk di telepon genggam Jess, dari Ben.
‘Aku sudah di hotel The Ritz, malam nanti aku mulai menyiapkan bahan untuk konfrensi Sabtu siang. Mungkin akan sibuk, maafkan bila nanti terlambat menghubungimu. Aku mencintaimu.’
Pesan selesai.
Jess membalas pesan singkat itu segera, tanpa disadarinya Sid memperhatikannya dalam diam.
“Kau tampak lebih kurus Jessie”
Jess mendongak kaget ketika Sid dengan tiba-tiba mengatakan hal tersebut. Jemarinya berhenti mengetik pesan. Dilihatnya Sid sedang menatapnya dalam. Sepasang mata indah yang membuat Jess meleleh tiap menatapnya.
“Ah, kenapa? Aku kurus? Kamu bercanda, aku sedang lepas pola diet sekarang. Beratku naik tiga kilogram” jawab Jess sambil kembali menyelesaikan pesan singkatnya. Sebenarnya hatinya senang dibilang kurus oleh Sid.
“Hmm..aku tak bisa membayangkan, bagaimana tubuhmu sebelum ini. Apa pekerjaan mu terlalu menyita waktu sehingga kau tak memperhatikan pola makan mu Sayang?”
Jess mendongak lagi, kaget dengan panggilan yang terakhir didengarnya. Sid berubah kikuk, pipinya terlihat merah dan segera menambahkan.
“Maaf, aku terbiasa memanggilmu begitu. Aku tak sadar aku tak berhak lagi memanggilmu dengan sebutan itu” terlihat wajah Sid berubah murung.
“Tak apa”
“Tapi..ah, baiklah” Sid tersenyum.
“Well, apa kesibukanmu saat ini?” Tanya Jess basa-basi
“Aku sedang dalam perjalanan bisnis menemui klienku. Selain itu, ada sebuah resepsi teman disini”
“Mungkin kah kau bisa menemaniku?” lanjut Sid berharap Jess menyanggupi ajakannya.
Jess nampak berfikir, dahinya berkerut. Di kepalanya terbayang wajah Ben yang berada beribu-ribu mil dari New York.
“Aku tak tahu, aku sedang menunggu kabar tentang pekerjaanku.”
Sid menunduk lesu, dia terlalu banyak berharap.
“Mungkin bila pekerjaanku di cancel, aku bisa menemanimu” sahut Jess cepat, dia merasa bersalah melihat perubahan wajah Sid.
“Benarkah? Terima kasih!” Sid spontan menggenggam tangan Jess. Jess merasa pipinya kembali hangat.
“Aku seperti sedang bermimpi Jessie” Sid mengusap lembut lengan Jess
“Aku kehilangan dirimu. Sejak kau minta kita berpisah, aku seperti kehilangan separuh diriku. Aku bahkan tak tahu mengapa menyanggupi permintaanmu untuk berpisah. Tahukah kau, aku sering melewati rumahmu, berharap bisa melihat wajahmu walau hanya sekejap saja.”
Kali ini Jess yang menunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah.

“Dan, tiba-tiba saja kau pindah. Tak ada yang tahu alamat barumu. Kau benar-benar menghilang. Dan aku sangat kehilangan dirimu” Jess merasa pelupuk matanya panas. Ada genangan air yang siap keluar dari sana.
“Aku melewati hari-hariku yang berat. Lama kemudian aku baru bisa merasa hidup kembali. Namun tahukah kau, aku masih terus mencintaimu. Kamu satu-satunya wanita yang aku cintai, sampai kini”
“Aku juga mencintaimu Sid” suara Jess bergetar. Air mata yang tertahan bertahun-tahun membuncah keluar.
Dengan lembut Sid mengusap pipi basah Jess yang dicintainya.
“Aku selalu ingat dirimu, meskipun aku menjalin hubungan dengan wanita lain. Tidak ada yang seperti kamu Jessie. Salahkah aku bila selalu membandingan wanita-wanita itu dengan dirimu?” Sid menatap Jess yang menunduk, pipinya makin basah mendengar pengakuan Sid yang jujur.
Maafkan aku Sid, maafkan aku.
“Jujur, aku selalu mencari sosokmu dalam setiap wanita yang aku temui. Aku mencoba mencari sesuatu yang hilang dari diriku. Namun, tidak ada satupun yang seperti kamu Sayang..”
“Bahkan, wanita terakhir yang bersamaku dua tahun pun tak mampu untuk menggantikan dirimu. Sampai akhirnya aku menyerah, karena perasaanku kepadanya sudah hilang sama sekali”
Jess mengangkat wajahnya yang basah dan memerah. Ditatapnya wajah Sid.
Ah, bola mata itu. Aku tak tahan bila menatap matamu Sid. Akal sehatku selalu hilang bila berhadapan dengan mata itu.

Pikiran Jess melayang ke beberapa waktu silam. Saat dia dan Sid masih menjalin hubungan. Hubungan yang manis, yang begitu membuai. Sid adalah seorang kekasih yang baik, meskipun Sid lebih muda 2 tahun darinya. Sid benar-benar tau bagaimana menjadi seorang lelaki. Kesetiaan nya tak diragukan lagi. Wajah tampan dan kedudukan keluarganya sudah cukup membuatnya menduduki peringkat pertama dalam kategori lelaki idaman di Baverley City. Belum lagi prestasi akademik nya yang membanggakan.
Otaknya sangat cemerlang. Dan dibalik semua itu, Sid muda mempunyai ambisi yang besar. Darah remajanya dialiri oleh ambisi untuk meneruskan kerajaan bisnis Ayahnya. Selain itu dia juga bertekad kuat untuk membangun keluarga bahagia seperti yang dilakukan Ayahnya.
Sejak kecil Sid sudah sering di ajak mengunjungi acara-acara ramah tamah perserikatan bisnis dunia dimana Ayahnya yang selalu menjadi tamu kehormatan di acara-acara tersebut. Dengan cepat Sid mempelajari apa yang berada dihadapannya, dan dia menjadi sorotan para tamu yang kagum dengan kecakapan yang dimilikinya. Jess tak akan heran kalau Sid akan menjadi direktur perusahaan menggantikan Ayahnya, dan samasekali heran dengan kenyataan bahwa sekarang Sid adalah seorang pengacara. Bukan duduk manis dikantor megah milik Ayahnya.

“Mengapa kau tidak masuk ke sekolah bisnis dan malah mempelajari hukum?” Jess bertanya dengan maksud mengalihkan Sid dari pembicaraannya tentang masa lalu dan kenyataan bahwa Sid masih mencintainya. Jess merasa tak sanggup menanggung luka yang kembali terbuka ketika Sid berkata tentang hal itu barusan.
Sid tidak curiga terhadap pertanyaan Jess dan menjawab,
“Err..aku hanya berpikir alangkah baiknya bila aku mengetahui tentang seluk beluk hukum dan menjadi seorang pengacara. Kau tahu, aku bisa dengan cepat mempelajari bisnis Ayahku. Jadi pada akhirnya aku nanti tetap bisa meneruskan perusahaan beliau dengan bekal yang lebih matang. Lagipula, menjadi pengacara adalah ambisiku yang lain.”
Sangat Sid sekali jawaban itu, pikir Jess.
Jess diam-diam mencuri pandang dan merasa beruntung bisa menelusuri lekuk halus namun tajam wajah tampan Sid. Wajah yang sangat dia rindukan. Wajah yang sampai kini belum bisa diusir pergi dari tiap sudut ingatan Jess. Namun dalam sepersekian detik tiba-tiba muncul wajah Ben, kekasihnya. Bertepatan dengan sepasang bola mata hijau jernih milik Sid yang juga menatap dalam ke bola mata Jess. Lamunan Jess buyar, hatinya gusar.
Maafkan aku Ben, diam-diam aku menemui mantan kekasihku
“Kamu masih saja suka melamun Jessie?”
“Ah, tidak. Bukan, tadi itu aku..”, kalimat Jess menggantung di ujung bibirnya. Dia nampak gugup.
“Lupakan.” Sid melempar senyum yang membuat Jess bingung.
“Lupakan...apa?”
“Lupakan siapapun yang ada dipikiranmu sekarang, yang dihadapanmu adalah aku. Kau hanya boleh memikirkan diriku” Senyum Sid kian mengembang.
Jess bertaruh, bila ada kaca besar dihadapannya Ia akan melihat wajahnya berubah merah padam seakan ada berbotol-botol cat yang disapukan ke wajahnya.
Tawa halus Sid terdengar merdu. Dan Jess hanya bisa menyunggingkan cengiran kikuk yang membuatnya merasa kian tolol.
“Ap..apa?”
Sid menggeleng dan memiringkan wajahnya. Menatap Jess lekat. Menikmati tiap senti wajahnya. Merekamnya dalam ingatan agar Ia bisa memutar kembali kapanpun Ia mau.
Dan satu jam berikutnya mereka habiskan dalam diam. Saling memandang dan menggenggam tangan. Membiarkan perasaan mereka mengalir melalui pandanagn dan sentuhan tangan. Sampai akhirnya ponsel Sid bergetar menandakan sebuah pesan yang masuk.
“Ah, sepertinya Aku harus pergi sekarang. Sayang sekali kita harus berpisah secepat ini, aku masih sangat merindukanmu” Sid mengerutkan alisnya sedemikian rupa sehingga memunculkan wajah sedih yang menggemaskan. Menggemaskan bagi Jess.
“Tak apa, kita masih bisa bertemu sabtu besok”
“Jadi kamu bisa menemaniku pergi ke resepsi temanku?” Wajah Sid berbinar.
“Eh, apa aku bilang bisa?” Jess menjawab bodoh.
Tawa renyah Sid menggema, Jess hanya bisa tertunduk karena Sid benar-benar membuatnya bertingkah konyol.
Tentu saja bisa, kan tadi kau yang bilang begitu. Bodoh.
“Kau tidak berubah Jessie, Kau benar-benar Jessie yang kukenal”
Memangnya dulu aku seperti apa, Jess mendadak panik tanpa alasan.
“Ayo kuantar kau ke mobil, aku harus memastikan kau masuk kedalam mobilmu dengan selamat” Sid mengamit lengan Jess dan menariknya lembut.
Jess hanya bisa patuh. Terpaksa patuh karena seluruh tubuhnya kehilangan separuh tenaga karena detak jantungnya kian tidak beraturan. Sid benar-benar berada disampingnya, menggandeng tangannya. Bahunya sesekali menempel pada lengan Sid, sehingga Jess bisa mencium jelas aroma parfum milik Sid. Tanpa sadar ada getar-getar yang menyelusup masuk dan membuatnya merasa geli. Otak Jess mendadak liar dan membayangkan betapa nikmatnya bila Ia berada dalam pelukan Sid saat ini.
“Oke, sampai ketemu sabtu besok” Suara Sid membuyarkan lamunan Jess.
“Eh..?”
“Ini mobilmu kan, kau tak ingin masuk?” Tanya Sid setengah bingung.
“Oh ya..aku ngg..kunci” Jess tergagap sambil mengaduk isi tasnya. Mengutuki dirinya mengapa bisa Ia melamunkan hal liar seperti itu.
Tolol! Pekik Jess dalam hati
Jess baru akan menutup pintu mobilnya ketika lengan Sid menahan pintu tersebut. Jess mendongak dan seketika Sid melayangkan bibirnya di bibir Jess.
“A..ap” Jess tergagap kaget. Tubuhnya terasa kebas.
“Hati-hati dijalan sayang..” Sid tersenyum, senyum manis yang membuat Jess kian lemas.
“Kau juga” Jawab Jess singkat. Sid menutup pintu mobil Jess dan melambaikan tangannya kearah mobil Jess pergi. Jess bisa melihat Sid terus menatap kearah mobilnya berbelok di blok depan. Dan bayangan Sid di kaca spion pun menghilang. Jess menyentuh bibirnya, seketika wajah Ben muncul di kepalanya.
Maafkan aku Ben, maafkan aku.

Jessica Marshall, dua puluh tujuh tahun—sedang tersenyum bodoh dihadapan cermin besar dikamarnya. Ia sudah mengganti bajunya dengan piyama dan membersihkan sisa riasan wajahnya. Ia menempelkan lengan cardigan yang dipakainya tadi dan membaui aroma Sid yang samar tertinggal disana.
Apa yang harus aku katakan pada Ben? Aku tidak mau mengkhianati calon suamiku sendiri. Tapi sungguh, aku ingin bertemu dengan Sid—lagi.

Jess menghela nafas dan melempar tubuhnya ke atas ranjang. Dengan masih menggenggam cardigan miliknya. Pikirannya kacau dengan sosok wajah Sid dan Ben yang muncul silih berganti. Jess menggeram dan menutup wajahnya dengan cardigan berwarna khaki miliknya. Aroma Sid menyapu penuh wajahnya. Jess pasrah, pada imajinasi apapun yang muncul karena aroma Sid tersebut. Jess pasrah, pada getaran apapun yang terasa di perutnya. Membiarkan hal itu berlangsung hingga Ia pulas tertidur.


Musee Du Louvre, Paris:
“Mr.Wolfski”. Ben mendongak malas untuk melihat siapa yang berani memanggilnya disaat Ia sedang bekerja.
“Benar ini Mr.Wolfski?” Tanya pria separuh baya berambut keperakan dengan setelan mahal dengan bahan yang terlihat berkilap. Ia memakai coat tipis dengan pinggiran berbulu. Sebelah tangannya menggenggam cerutu yang asapnya menggelitik hidung Ben.
“Ya, dan anda?” Jawab Ben dingin. Satu-satunya yang terlihat bergerak hanya sebelah alisnya. Ben memang dijuluki dengan sebutan dewa seni, tapi dewa seni tanpa ekspresi. Ia tidak suka basa-basi, dan kalimat yang keluar dari mulutnya biasanya tajam. Terutama pada orang yang tidak disukainya, atau dianggap mengganggu.
“Aaah..bangga sekali saya bisa bertemu dengan anda Mr.Wolfski. Perkenalkan, saya Alexandre Shdanoff. Saya penggemar karya-karya anda” Pria itu menodorkan tangannya.
Ben menatap lengan yang disodorkan tersebut. Dilihatnya barisan cincin dengan ukiran penuh artistic dan satu cincin polos bertahtakan batu putih mengkilap—berlian, pikir Ben.
Pria macam apa yang memakai cincin berlian sebesar ini. Ben mendengus.

“Saya mendengar bahwa karya terbaru anda akan di publikasikan di museum ini. Saya sudah memesan tempat sejak jauh hari, tapi rupanya tidak cukup sabar untuk segera bertemu langsung dengan Artist besar favorit saya”. Pria bernama Alexandre Shdanoff itu terlihat berbinar saat menceritakan alasannya menemui Ben.
Senyum tolol. Ben mengutuk dalam hati. Ia benar-benar tidak suka pada pria ini. Penampilan noraknya, aroma cerutunya. Semua yang ada pada pria itu membuat Ben mual.
“Alexandre, my darling!”
Ben menoleh karena kenal dengan suara tersebut. Dilihatnya pemilik Musee Du Louvre tergopoh menghampiri tempat dimana Ia dan pria flamboyan itu berdiri.
My darling,eh? Rupanya tua bangka ini adalah kekasih Mr. Francois. Ben manggut-manggut mengerti.

“Mr.Ben, kenalkan ini Al. Pacar saya” Mr.Francois mengenalkan kekasihnya pada Ben. Wajahnya malu-malu.
“Ya, tadi Ia sudah mengenalkan diri” sahut Ben datar.
Mr. Francois terlihak kikuk melihat ekspresi datar Ben, dan segera mengalihkan pembicaraan karena udara di ruangan tiba-tiba terasa panas.
“Jadi, apakah anda punya waktu besok malam Mr.Ben? Kalau tidak keberatan kita bisa minum-minum setelah acara pembukaan selesai” Tawar Mr.Francois. Tampak wajah Mr. Alexandre berubah riang mendengar rencana kekasihnya tersebut. Ia sangat memuja karya-karya seorang Benjamin Wolfski dan ingin berbincang banyak dengan Artist pujaannya tersebut.
“Bisa, karena itu tolong biarkan saya menyelesaikan ini dulu.”
Mr.Francois terlihat gugup, Ia tahu benar bahwa Ben tidak suka diganggu bila sedang bekerja. Ditatapnya wajah Alexandre—kekasihnya yang menyuarakan “Sorry” tanpa suara. Dan dibalasnya dengan “It’s Ok” dengan senyum tulus.
“Baiklah, sampai bertemu besok Mr.Wolfski. Ah..maaf telah mengambil waktu anda yang berharga” Mr.Francois menepuk lembut bahu Ben dan tersenyum.
“My pleasure” Ujar Ben sambil memutar tubuhnya dan kembali tenggelam pada pekerjaannya.

New York:
Sejak pagi Jess hanya berguling-guling diranjangnya yang nyaman. Jess menatap layar ponselnya. Menunggu pesan atau telepon siapapun yang akan masuk. Ia menunggu kabar dari Photographer Jake Peterson, kabar dari Ben dan..Sid.
Aku harap pemotretan di undur. Doa Jess dalam hati.
Layar berkedip dua kali, tanda pesan singkat masuk.
Jess membeku, pesan pertama yang masuk hari ini ke ponselnya adalah dari Sid.
‘Sudah yakin akan menemaniku nanti malam?Acara dimulai jam tujuh malam, aku akan menjemput bidadari ku dimanapun Ia berada pada jam enam tepat. Kau tahu? Bidadari itu adalah kamu.’ Pipi Jess panas. Lalu layar berkedip lagi.
‘Oh Tuhan, aku merindukanmu!’ Pesan itu masih dari Sid.
Jess berguling-guling senang. Mungkin hal ini yang dirasakannya tiap hari delapan tahun yang lalu. Hari-hari saat dirinya masih berstatus sebagai kekasih Sidney Hudson. Hari-hari dimana mereka menghabiskan waktu manis bersama di Beverly City. Hari-hari dimana..
Layar ponsel kembali berkedip dan membuyarkan lamunan Jess.
‘Dear Miss Jessica, mohon maaf atas pengunduran pemotretan hari ini dikarenakan Mr. Jake Peterson masih harus dirawat di Rumah Sakit. Pemberitahuan untuk penggantian tanggal pemotretan akan di ajukan segera. Atas pengertiannya kami ucapkan terima kasih’
Pesan itu dikirim oleh asisten Mr. Jake. Jess memekik girang, karena keinginannya untuk bertemu lagi dengan Sid terkabul.

Jess sedang menari-nari di depan cermin ketika ponselnya berbunyi. Telepon dari Ben.
“H-hallo?” Jess gugup.
“…”
“Hallo?” Jess mengulanginya karena Ben yang diseberang sana tidak bersuara.
“Ada apa denganmu sayang? Kau terdengar gembira” Tebakan Ben tepat.
“Tidak ada apa-apa. Aku..Cuma baru mendapat kabar bila pemotretan diundur” Jess terbata-bata. Sekilas muncul ide dikepalanya.
“Eh, aku mendapat undangan mendadak dari teman lamaku. Ia menikah malam ini dan si Mikey baru memberi tahu pagi ini. Bolehkah aku pergi sayang?” Tanya Jess, keringat dingin menitik di dahinya karena Ia berbohong.
Aku harus minta maaf pada Mike karena memakai namanya sebagai alasan.
“Pergi saja, toh pekerjaan mu diundur dan kau tak punya rencana apapun malam ini bukan?” Ben menjawab tanpa curiga.
“Ya, aku..mungkin akan minta jemput Mikey”
“Kau memang lebih aman bila bersamanya” Ben memang mempercayai Mike untuk berada dekat-dekat dengan kekasihnya.
“Baiklah,mmm bagaimana persiapan pembukaan pameran mu?” Jess mengalihkan pembicaraan.
“Sudah selesai 99%. 1% lagi adalah pidato pembukaan nanti. Kau tahu, aku benci berbicara didepan orang banyak” Ben terdengar lelah.
“Kau pasti terlihat tampan di pembukaan nanti”
“Jadi biasanya aku tidak?” Ben tersenyum kecut
“Bukan begitu, tiap hari kau adalah yang tertampan bagiku. Tapi membayangkan kau berpidato pada pembukaan pameranmu di sebuah museum terkenal itu membuatku makin merasa dirimu sangat sangat tampan” Ucapan Jess terdengan berlebihan, namun tawa kecil diujung sana menandakan bahwa Ben senang dengan bualan Jess barusan.
“Kau tahu, aku semakin mencintaimu” Ben menunduk dan merasa dadanya panas, Ia merindukan kekasihnya yang sekarang berada jauh di belahan negara yang lain.
Jess terdiam, matanya panas mendengar kalimat Ben.
Kau perempuan jahat. Kekasihmu mencintaimu setengah mati dan kau malah akan pergi bersama mantan kekasihmu.
“Hallo?” Suara Ben terdengar bingung karena Jess tidak menjawab ungkapan cintanya.
“Ya, ah aku juga mencintamu. Cepatlah pulang” Jess terbata-bata, setengah mati menahan gumpalan air yang akan keluar dari pelupuk matanya.



Jam berwarna emas yang melingkar manis di lengan Jess menunjukkan pukul empat tepat. Jess memekik dan segera memasukkan gaun berwarna hitam serta peralatan rias dan stiletto Louboutin nya asal-asalan ke dalam paper bag besar yang bertuliskan ‘Gucci’. Tergopoh-gopoh Ia menuruni tangga Apartemen nya yang berada di lantai 17. Pada anak tangga ke tujuh Ia berhenti dan menepuk dahinya sambil mengutuk kebodohan yang dilakukannya.
Mengapa aku tidak memakai Lift? Dasar bodoh.

Jess keluar dari tangga darurat dan memencet cepat tombol lift. Jess setengah lari begitu sampai di lantai dasar apartemennya dan meloncat masuk kedalam taxi pesanannya yang sudah menunggu dari sepuluh menit yang lalu.
“Salon Justin sir” perintah Jess pada supir taxi. Supir taxi dengan sigap mengemudikan mobilnya menuju tempat yang Jess tuju.

Jess sedang memoles lipstick berwarna merah muda ketika bayangan Sid tiba-tiba muncul di belakangnya. Jess menoleh kaget karena bayangan dikaca itu memang benar-benar Sid. Sid tersenyum sambil mendekati Jess yang setengah melongo dengan bibir separuh terpoles lipstick.
“Kau cantik”
Tubuh Jess membeku ketika jemari Sid menyentuh ujung rambutnya yang sudah di tata rapi.
“Kau sudah selesai? Ayo kita pergi” Ajak Sid lembut.
“Ah, ya” Jess dengan asal memasukan peralatan riasnya yang bergeletakan di meja salon. Seorang stylist yang tadi menata rambutnya menahan lengan Jess ketika Ia akan memasukan lipstick miliknya.
“Ah, Miss Jessica. Anda belum memakai lipstick” Ujar stylist tersebut mengingatkan.
Jess memandang cermin dan terpekik sambil mengutuk kebodohannya. Dengan cepat Ia memoles ulang lipstick merah muda dan memasukannya kedalam makeup case miliknya. Sid menyambar paper bag ditangan Jess dan menggandeng lengan Jess. Jess menahan sebentar ketika mereka melewati meja kasir.
“Pacar anda tampan sekali Miss Jessica. Kalian sangat serasi” Ucap pria yang bertugas sebagai kasir.
Wajah Jess hangat.
“Terima kasih, sir”. Dari kaca terlihat senyum Jess mengembang, Ia bahagia.

“Aku bangga sekali, seluruh pengunjung salon menatapMu. Dan kudengar pujian-pujian yang mengatakan betapa cantiknya dirimu” Sid berkata tanpa beban sambil mengemudikan mobil Marcedes seri terbaru berwarna hitamnya keluar dari parkiran dan menuju jalan raya.
Sid tidak tahu kalau wajah Jess sudah berubah sewarna dengan warna lipsticknya.
“Kau terlalu memuji, mereka juga memuji betapa tampannya dirimu” Setengah mati Jess membuat suaranya agar terdengar wajar.
Sid menoleh dan menatap Jess ketika lampu jalanan berwarna merah. Jemarinya memainkan ujung rambut Jess tanpa mampu berhenti menatap dalam kedua bola mata Jess.
“Kau benar-benar cantik..”
Jess merasa nafasnya berhenti.
Tuhan, kalau ini mimpi. Tolong jangan bangunkan aku.

Ballroom hotel The Crown yang megah menyambut Sid dan Jess yang bergandengan tangan. Keduanya tampak sempurna dan indah seperti potongan sebuah film percintaan ketika berjalan memasuki ruangan. Berpuluh-puluh pasang mata terkesima ketika melihat pasangan itu berjalan anggun memasuki ruangan. Ada yang berbisik, bahkan beberapa tanpa sadar membiarkan mulutnya terbuka. Sid melihat teman-temannya berkumpul di ujung ruangan dan mengajak Jess untuk menghampiri mereka.
Hello Ladies and Gentleman, perkenalkan ini Jessie..Jessica Marshall yang sering kuceritakan pada kalian” Sid dengan bangga memamerkan Jess pada teman-temannya. Dan ketika mereka sedang berbincang, perhatian Sid terpecah ketika ada lengan yang menepuknya dari belakang.
“Sid, kau sudah datang rupanya. Ah, hai Beatrix!” Wanita yang menepuk Sid tadi ganti menyapa Jess.
Eh, Beatrix? Jess mengernyit.
Sadar bahwa yang tadi disapanya bukan Beatrix, wanita itu buru-buru meminta maaf.
“Oh maaf, kukira kau Dia”
Dia..siapa?
Wajah Sid berubah panik. Dan buru-buru menarik lengan Jess menjauhi teman-temannya.
“Maafkan temanku, jangan marah Jessie.”
“Beatrix itu..siapa?”
“Dia mantan kekasihku, yang kuceritakan tempo hari”
Jess menggigit ujung bibirnya. Perasaannya tidak enak.
Benar saja, tak lama ketika Jess mengambil segelas sampanye tiba-tiba Ia mendapati seorang wanita sudah berdiri dihadapannya. Dihadapan Sid tepatnya, karena wanita itu seperti sengaja berdiri ditengah memisahkan Jess dan Sid.
“Jadi ini wanita barumu” Ucap wanita itu ketus.
Raut wajah Sid setengah panik ketika wanita itu ganti menatap Jess dengan pandangan—kubunuh kau.
“Kita bicarakan ini diluar” Ujar Sid tegas.
“Beraninya kau..”
“Dia tidak ada hubungannya denganmu, kau hanya punya urusan denganku!” tegas Sid pada wanita yang pandangan matanya seakan ingin menelan Sid bulat-bulat.
“Kau!” suara wanita itu meninggi, jari telunjuknya berada tepat di depan hidung Sid.

Teman-teman Sid yang sejak tadi mengamati bergegas mendekati Sid dan wanita itu. Sebagian menarik mundur Sid dan sebagian lagi menarik lengan wanita bergaun malam bermerk terkenal itu.
“Kalian selesaikanlah diluar, jangan disini” saran dari seorang teman yang tadi berkenalan dengan Jess.
“Sidney Hudson, kau harus jelaskan ini semua! Dan Kau!” telunjuk wanita itu ganti menunjuk Jess. “Jangan berani kabur dari sini!”
Jess memang tidak berniat kabur, Ia tidak berniat melakukan apapun sekarang. Jess sama sekali tidak mengarti apa yang sedang terjadi dihadapannya sekarang. Pikirannya sama sekali kosong.
“Biar Jessica bersama kami, kalian pergilah keluar” Pinta seorang teman Sid sambil mengamit lengan Jess menjauhi kerumunan yang entah sejak kapan menonton kejadian tersebut.
Jess menatap punggung Sid tersayangnya yang tergesa mengikuti langkah penuh amarah wanita tadi. Bingung dan cemas.
Sebenarnya apa yang terjadi?

“Dia Beatrix, mantan kekasih Sidney. Mereka sudah berpisah beberapa bulan yang lalu. Tapi Beatrix belum bisa menerima kenyataan tersebut karena sangat mencintai Sidney. Jadi mungkin Ia marah ketika melihat Sid tiba-tiba membawa wanita lain ke pesta ini” ujar seorang pria yang menjelaskan tanpa ditanya.
“Beatrix Knightley memang sedikit gila” Sambar seorang lagi.
“Tidak gila, hanya saja mengganggap dirinya seorang ratu. Hanya karena dirinya masih garis keturunan bangsawan kerajaan Inggris” Terang seorang teman wanita Sid tak kalah sengit.

Pengidap Princess syndrome eh?Pantas saja Sid hilang minat padanya. Jess manggut-manggut dan meneguk pelan isi gelas sampanye yang dipegangnya dari tadi.
Lima belas menit menunggu dan akhirnya Jess melihat sosok Sid memasuki ruangan sambil mengusap sebelah pipinya. Wajahnya merah padam nyaris berubah ungu karena menahan amarah. Namun ekspresi Sid berubah ketika berdiri dihadapan Jess.
“Maaf kamu harus menunggu lama. Maafkan juga kejadian tak enak tadi” Sid tersenyum lembut pada Jess.
“Kau..baik-baik saja?” Tanya Jess khawatir
“Aku baik-baik saja. Kuceritakan nanti, sekarang ayo kita pergi dari sini. Aku kehilangan minat untuk menikmati pesta” Jawab Sid menarik lengan Jess.

“Wanita itu gila” ucap Sid saat mobilnya sudah keluar dari parkiran.
“Dia marah-marah tentang omong kosong dan menamparku hanya karena Dia merasa harus melakukan itu”
Jess terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tapi tangannya refleks mengusap bahu Sid lembut.
“Kau baik-baik saja?”
Sid menoleh dan tersenyum, “Aku baik-baik saja. Hanya berada disampingmu aku bisa merasa segalanya akan baik-baik saja”
Skak mat. Tatapan Sid lagi-lagi membuat Jess membeku.
“Ayo kita cari tempat untuk makan dan mengobrol. Aku lapar” ujar Sid
“Ayo”
Jess menjawab sambil perlahan menyandarkan kelapanya di bahu Sid. Sid tersenyum dan mengecup kepala Jess lembut.
“Terima kasih sudah menenangkanku”
“Jujur aku tak tahu harus berbuat apa” Jess mengaku bersalah
“Kalau begitu, aku saja yang meminta. Boleh?” Tanya Sid
“Meminta..apa?” Jess mengangkat kepalanya dan menatap Sid bingung.
“Memintamu untuk menemaniku malam ini. Aku..masih sangat merindukanmu” Sinar mata Sid melumpuhkan akal sehat Jess seketika dan malu-malu Jess mengangguk.
“Yess!” pekik Sid
Sepanjang perjalanan, Jess menggenggam lengan Sid dan bergelayut manja di bahu Sid. Hatinya terasa hangat oleh perasaan cinta yang ternyata masih kuat tersimpan untuk Sid-nya. Malam itu, mobil marcedes itu terparkir manis di pelataran parkir dihotel mewah dimana Sid tinggal untuk beberapa hari ini.
Apapun yang akan terjadi malam ini aku tidak akan dan tidak boleh menyesal.



“Terimakasih untuk malam yang indah sayang..” Jemari Sid menelusuri celah rambut Jess saat mereka sudah berada di depan gedung apartemen dimana Jess tinggal. Menatap dalam bola mata Jess dan sekali lagi mengecup lembut bibir Jess yang hangat. Jess pasrah. Dan Ia memang sudah memasrahkan dirinya untuk Sid semalam. Malam yang harus Ia rahasiakan pada siapapun, termasuk pada Ben—kekasihnya.
Siang itu Jess memasuki kamar apartemennya dengan linglung. Tubuhnya masih bisa merasakan kehangatan tubuh Sid. Otaknya dengan sengaja memutar ulang keintiman yang di rekam oleh kedua bola matanya. Telingannya penuh oleh desahan nikmat Sid. Setiap senti kulitnya menjalar percikan rasa yang dihasilkan dari jilatan liar lidah Sid.
“Kau cantik sekali sayang..”
“Aku mencintaimu..”
“Jessie..aaaah”
Tiga kalimat itu terngiang-ngiang liar di kepala Jess. Jess melempar tubuhnya keranjang dan masuk kedalam selimut. Membiarkan ingatannya menguasain tubuh dan perasaannya.
Biarkan aku menikmatinya saat ini.


Sid mengemudikan mobilnya sambil tersenyum, dadanya terasa penuh. Setelah sekian lama, akhirnya Ia bisa menikmati lagi kehangatan tubuh Jessie tercintanya. Bertahun-tahun Ia memendam rindu, dan malam tadi mereka melepaskan semua gumpalan kerinduan itu. Mengeluarkan semuanya dengan liar tanpa harus memikirkan apapun. Sid sangat ingin memiliki Jess yang dicintainya lagi. Saat ini, Sid tidak akan menyerahkan Jess pergi dengan alasan apapun. Kejadian semalam sudah cukup untuk membuktikan betapa keduanya masih dan akan selalu saling mencintai. Selama-lamanya.


“Dengan demikian secara resmi saya buka pameran ini, silahkan menikmati” Suara Mr. Francois terdengar dari pengeras suara. Senyumnya mengembang dan sesaat melempar pandangan mesra pada Mr. Alexandre yang berada di kursi VIP. Tepuk tangan memantul pada dinding Musee Du Louvre, diiringi kilatan lampu Blitz yang berasal dari kamera-kamera tamu pers yang berbaris rapi di garis depan. Ben ikut bertepuk tangan dengan wajah dingin. Pandangannya kosong, seakan jiwanya tidak berada di ruangan itu. Kepalanya penuh dengan bayangan Jess kekasihnya, sejak malam tadi perasaannya tidak enak.
Aku merindukanmu sayang.


Ponsel Jess berbunyi, matanya enggan terbuka dan dengan malas Ia menekan tombol OK.
“Hallo…”
“Apa aku mengganggumu?”
Jess terkesiap, itu suara Ben.
“Tidak..a-aku hanya ketiduran sebentar tadi” Jess tergagap, dahi nya menitikan bulir-bulir keringat dingin—Ia berbohong lagi.
“Kau terdengar lelah, apakah pesta semalam menyenangkan?” Tanya Ben
Otak Jess memutar potongan adegan panas dengan Sid yang terjadi semalam. Dan itu membuat kepalanya kini berdenyut-denyut.
“Ah..ya. Aku terlalu banyak minum, kepalaku sedikit berat sekarang” Jess kembali berbohong.
“Kalau aku yang menemanimu semalam, kau tak akan sampai rumah” Sahut Ben.
“Eh?” Jess mengernyit tak paham.
“Ya, karena kau akan kubopong masuk kedalam kamarku. Dan kau tidak akan kubiarkan pulang sampai besok.” Suara Ben terdengar bergairah.
“Aku merindukanmu..Aku ingin memeluk dan melumat habis tubuhmu” Ben kembali melanjutkan.
Pelupuk mata Jess panas, tenggorokannya juga panas. Yang bisa Ia lakukan hanya membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara aneh macam apapun yang membuat Ben tahu kalau dirinya mati-matian menahan tangis.
“Sayang?” Ben khawatir karena Jess tak memberi respon apapun. Biasanya Jess akan membalas dengan kalimat-kalimat manis yang tak kalah nakal dan membuat dirinya melayang. Namun saat ini, satu-satunya yang dijumpai Ben hanya keheningan.
“Ya, aku juga merindukanmu. Cepatlah pulang..” Hanya itu yang bisa Jess ucapkan setelah setengah mati mencoba menguasai pertempuran batin yang terjadi dalam dirinya.
“Aku akan segera pulang. Berjanjilah kau akan menjadi milikku sepenuhnya setelah aku tiba di sana” pinta Ben.
“Aku janji” sahut Jess, butiran airmata kini menitik di pipinya.
“Aku mencintaimu..Ah, maaf aku harus kembali kedalam ruangan. Masih ada beberapa wawancara. Bye sayang..” Tutup Ben tergesa-gesa karena Mr. Francois ternyata sudah berdiri disampingnya sejak tadi.
Bye. Jess membalas dalam hati. Dan kini Ia menenggelamkan kepalanya kedalam bantal. Otaknya bergantian memunculkan wajah Sid dan Ben. Dan tangisnya pun pecah.
Maafkan aku Ben, maafkan aku telah mengkhianatimu.

Alunan merdu dari paduan saxophone dan violin yang berasal dari mini orcestra mengalun lembut didalam Musee Du Louvre. Lagu-lagu romantis mengisi tiap pori-pori dinding ruang pameran, dan juga memenuhi hati pasangan Mr. Francois dan Mr. Alexandre yang berbincang intim di sofa pojok ruangan tanpa peduli bahwa mereka sedang berada di ruangan yang penuh dengan pengunjung.
Ben memandangi gelas berisi wine-nya yang hampir kosong. Ia bosan setengah mati berada di dekat pasangan ini. Ia bosan mendapati dirinya menjadi tontonan berpuluh pasang mata pengagum yang mengunjungi pameran ini. Ia bosan dan rindu Jess setengah mati. Dan hatinya kian merasa tidak enak, Jess terdengar aneh di telepon tadi. Seperti ada yang salah, seperti ada yang telah terjadi. Dan Ben beranjak pergi setelah menengguk habis wine-nya. Ia butuh udara segar.

One day in your life. You remember the love you found it. You remember me somehow..’
Sidney memutar kembali lagu yang membuatnya kian merindukan Jess. Ia selalu memutar lagu itu setelah dirinya putus dengan Jess. Sejak Ia kembali ke hotel setelah mengantar Jess pulang, Ia tak bisa menghapus ingaan tentang kejadian yang pernah terjadi dikamar itu. Aroma tubuh Jess seakan menempel kuat pada pori-pori dinding hotel. Sidney mengerang dan memeluk bantal. Malam itu Ia menyesal telah mengantar Jess pulang, harusnya Ia masih bisa menikmati satu malam indah lagi bersama Jess dikamar ini.
Aku merindukanmu Jessie..aku membutuhkanmu..


Senin pagi, Jess melangkah mantap memasuki ruangan kantornya. Hari ini Ia mengenakan setelan celana panjang berpotongan lurus dengan blazer kulit sintesis berwarna cream. Mike memandangi wajah Jess yang terlihat segar. Sebelah alisnya terangkat saat merasa ada yang tidak biasa pada wajah Jess hari ini. Jess terlihat cantik—seperti biasa, namun hari ini Ia terlihat lebih bercahaya.
“Ada berita bagus,eh?” Tanya Mike pada Jess yang kini berdiri tepat di depan mejanya.
“Minta waktumu, makan siang bersama.” “Aku yang traktir!” lanjut Jess buru-buru menambahkan, sebelum Mike sempat menjawab apapun.
“Sepertinya penting, baiklah” Mike pasrah. Tapi hatinya senang karena hari ini Ia bisa makan siang gratis.
“Jadi..memang ada berita bagus?” Kilat mata Mike terlihat jahil.
“Kuceritakan nanti” Potong Jess sambil berlalu menuju mejanya sendiri.
Mike menaikan bahu tanda OK.

“Ada hal penting yang harus kuceritakan padamu, aku tak sanggup menyimpannya sendiri” Jess membuka pembicaraan. Dihadapannya sudah tersaji sepiring steak daging sapi lengkap dengan puding pencuci mulut. Mike menganggukan kepalanya sambil sibuk mengunyah.
“Aku..bertemu dengan mantan kekasihku”
Mulut Mike berhenti mengunyah. Ditatapnya wajah Jess yang berada dihadapannya.
“Sabtu kemarin aku menemaninya menghadiri sebuah acara, dan maaf aku menggunakan namamu sebagai alasan pada Ben”
Pandangan Mike kembali kepiring.
“Lalu, makan siang ini sebagai tutup mulut” Suara Mike dibuat seakan menyesal.
Harusnya aku minta menu tutup mulut yang mahal. Sesal Mike.

“Aku..malam itu aku tidak kembali ke apartemenku” Lanjut Jess
Mike kembali menatap Jess lagi. Mencari-cari jawaban sendiri dan matanya terbelalak.
“Kau, tidur dengannya?” pekik Mike
Jess berubah panik dan tersedak, padahal Ia belum menyuap sepotong makanan pun kedalam mulutnya. Setelah minum, Jess melanjutkan.
“Aku..menginap di hotel tempat Sid berada.” Jess gugup
“Kau tidur dengannya?” ulang Mike
“Eh, aku..” Mata Mike menghujam kedalam bola mata Jess, Jess merasa pandangan itu seakan menusuk dan meremas-remas hatinya.
“Err..ya” akhirnya Jess mengakui
Tubuh Mike merosot dari tempat Ia duduk, menatap hampa pada piringnya. Ia kehilangan selera makan.
“Kau mengkhianati Ben, calon suamimu” Mike memberi penekanan pada kalimat terakhir. Jess kian merasa tertusuk hatinya. Ia memang merasa sangat bersalah karena hal tersebut. Karena itu Ia membaginya pada Mike, karena Ia tidak sanggup untuk menyimpannya sendiri. Jess menunduk, tak kuat oleh tatapan menghakimi Mike.
“Akal sehatmu hilang, eh?” Tanya Mike
“Ya..a-aku..selalu kehilangan akal sehatku bila berhadapan dengan Sid” tutur Jess terbata-bata. Ia menunduk kian dalam, dan merasa sepertinya salah menceritakan hal tersebut pada Mike—sahabatnya. Betapapun dekatnya hubungannya dengan Mike, Mike tetaplah seorang lelaki normal. Tentu Mike berhak tersinggung dengan apa yang telah terjadi pada Jess dan Sid malam itu. Mike benci pengkhianatan, karena Mike pernah dikhianati oleh orang yang dulu sangat dicintainya. Lagipula Mike juga kenal baik dengan Ben, dan dia merasa ikut harus bertanggung jawab atas kelakuan Jess tersebut.
“Berhenti menatapku Mikey” Pinta Jess
“Katakan kau menyesal” Sahut Mike dingin
Tak perlu kau minta, aku memang sudah menyesal. Bodoh. Kutuk Jess dalam hati.

“Aku menyesal. Karena itu aku tak sanggup menanggung ini sendirian. Aku mohon padamu, tolong rahasiakan hal ini pada Ben”
Mike mendesah panjang. Tubuhnya menyender berat pada punggung kursi. Ia memijat dahinya tanda sedang berpikir.
“Jessie..kau keterlaluan”
“Aku tahu..tapi aku tak bisa menahan”
“Pernikahanmu tinggal selangkah lagi dengan Ben, dan kau..Kau mengkhianatinya begitu saja”
Gantian Jess yang memijat dahi.
“Jelaskan padaku. Ah jangan! Kepalaku sakit membayangkan apa yang telah kau lakukan dengan pria itu”
Jess tidak berani menatap Mike, matanya hanya bisa menelusuri pinggiran meja. Melirik pada vas bunga kecil di atas meja, mencari-cari apapun yang bisa Ia lihat untuk menghindari tatapan Mike yang menusuk.
Please, jangan marah padaku” Jess memohon.
“Kau memintaku tidak marah padamu Jess?” Suara Mike meninggi.
Jess menyesal telah menceritakan hal ini pada Mike.
Harusnya ini memang hanya aku simpan sendiri.

“Kau pikir tidur dengan pria lain itu akan selesai dengan kata maaf?”
Jess terdiam.
Gosh! I can’t believe it!”
“Kau tahu, aku tak mau ikut campur dalam masalahmu kali ini. Aku benci pengkhianatan” Tutup Mike.
“Kupikir kau akan mengerti”
“Mengerti apa? Apapun yang akan kau ucapkan adalah alasan yang kau buat untuk lari. Lari dari kenyataan bahwa kau bersalah dan telah mengkhianati kekasihmu sendiri”
Mata Jess panas.
Tolong Mike, tolong berhenti menghakimiku. Aku tahu aku bersalah. Aku tahu aku mengkhianati Ben. Aku tak sanggup menanggungnya sendiri. Karena itu aku menceritakan padamu.

Mike melempar serbet yang habis diremasnya.
“Maaf .Aku mau kembali kekantor. Kau bisa kembali sendiri kan? Permisi.” Dan Mike meninggalkan Jess yang kini telah menangis.



Benjamin Wolfski menyerat kopernya menjauhi kerumunan wartawan yang menunggunya sejak pagi di Airport. Dia mengabaikan rentetan pertanyaan wartawan yang bertanya tentang pamerannya di Musee Du Louvre kemarin. Ben segera masuk kedalam taxi yang berhenti dan membawa dirinya semakin menjauhi kumpulan wartawan yang berteriak-teriak memanggil namanya.

Peduli setan pada wartawan itu. Aku merindukan Jess
.

Jess menatap monitor computer dihadapannya dengan tatapan kosong. Diliriknya meja Mike yang kosong. Mike tidak kembali ke kantor, dan Jess tidak berani menghubungi ponsel Mike. Ponsel Jess berkedip, Ben menelepon.
“Aku sudah kembali” Suara berat Ben terdengar diujung sana.
“Selamat datang” Jess menyahut lembut.
“Mau kujemput? Kita bisa makan diluar”
Jess mengusap perutnya yang kosong-namun-tidak-merasa-lapar itu. Ia sudah kehilangan nafsu makannya sejak tadi siang.
“Baiklah, aku akan selesai kerja satu jam lagi”
“Aku akan menunggumu di tempat parkir yang biasa” sahut Ben riang.
See ya” Jess menutup telepon dan kembali menatap hampa pada layar monitor yang kosong.

Dentingan pisau dan garpu yang menyentuh piring terdengar bersahutan pelan. Ben dan Jess sudah duduk berhadapan di sebuah meja yang berada dalam ruang VIP. Ben selalu memesan ruangan itu, karena Ia tidak suka bila harus makan di kelilingi orang banyak. Ben tidak tahan berada ditengah keramaian.
Well, bagaimana pameranmu di Perancis kemarin?” Tanya Jess sambil menyuap kecil sepotong daging sapi.
“Meriah seperti biasa, namun terasa kurang karena kau tidak ada disana” Ucapan Ben membuat pipi Jess hangat. Ben memang dingin terhadap orang lain, tapi sangat romantis bila berhadapan dengan Jess.
“Kalau tahu pekerjaanku diundur sejak awal, harusnya aku berada disana bersamamu” Jess menunduk.
Bila aku ikut bersama Ben, tidak akan ada pertemuan dengan Sid. Tidak akan ada pengkhianatan apapun. Seandainya waktu bisa diputar ulang..

“Apa kau menyesal?”
Deg!’. Pertanyaan Ben seakan mencabut jantungnya keluar.
Apa dia tahu?
“Lupakan, kau tak perlu menyesal. Well, meskipun di sana aku kesepian dan rindu setengah mati padamu. “
Ternyata Ben tidak tahu. Ben membicarakan ‘penyesalan’ yang lain.

“Ah, baiklah. Toh kita sudah bisa bertemu sekarang” Jess gugup dan lekas menyambar gelas serta menenggak habis isinya. Lengan Ben menyentuh ujung jari Jess dan mengusap lembut.
“Aku menginginkamu malam ini..” Tatapan Ben mengoyak-koyak hati Jess. Hatinya terasa sakit, perutnya mual. Karena sesaat tadi yang melintas di pikirannya ada potongan malam bersama Sid.
Jess, kau pengkhianat.

Malam ini adalah malam paling menyiksa yang dirasakan Jess. Tubuhnya sedang bersama Ben, namun tidak dengan pikirannya. Jess hanya bisa melihat Sid. Membayangkan yang sedang melumat tubuhnya adalah Sid. Merasakan yang sedang memasuki tubuhnya adalah milik Sid. Dan pada tiap jeritan nikmat yang keluar dari bibir Jess adalah jeritan untuk Sid. Jess mengkhianati Ben habis-habisan malam ini.

Tombol backspace berkali-kali ditekan Sid, pikirannya kacau. Pekerjaannya kacau. Yang bisa Dia ingat hanyalah Jess. Sid merindukan Jess, dan segera menekan tombol memanggil pada ponselnya.

Pagi itu yang pertama kali dilihat Jess adalah wajah Ben yang tertidur pulas di atas dadanya. Pantas saja tadi Ia merasa sesak. Diusapnya rambut hitam Ben yang menutupi sebagian wajahnya.
Kau tampan. Batin Jess.
Mata Ben setengah terbuka, dan dengan pelan mengangkat wajahnya. Menatap wajah kekasihnya dan tersenyum.
“Aku mencintaimu”
Jess memeluk tubuh kurus Ben, menghisap habis aroma tubuh telanjang yang berada di dekapannya.
Aku baik-baik saja. Aku akan melupakan Sid dan kembali pada kehidupanku yang biasa.

Jess mendapati Mike sudah berada di meja kerjanya, tenggelam dalam tumpukan file yang menumpuk. Jess ragu untuk menyapa Mike dan berjalan lurus kearah meja nya berada.
“Kau terlambat” Kalimat Mike terdengar ketika Jess baru akan duduk dikursinya.
“Ah ya, aku diantar Ben” Sahut Jess canggung.
Mata Mike menyidik, mencari kebenaran pada bola mata Jess.
“Dia sudah kembali. Dan kau..sudah kembali?”
Jess tidak mengerti pada kalimat terakhir Mike. Begitu pula dengan Mike yang merasa Jess tidak mengerti dan membalikan badannya menghadap monitor lagi.
“Terserahlah”

Ponsel Jess berkedip saat tiba waktunya makan siang. Jess memekik dan segera berlari keluar ruangan sambil menggenggam erat ponselnya. Telepon dari Sid.
“Coba tebak aku dimana” Suara riang Sid menggelitik telinga Jess
“Err..have no idea” Jawab Jess
“Aku di lobi kantormu. Ayo kita makan siang”
Kalimat Sid membekukan darah di tubuh Jess.
“Lima menit!” Pekik Jess sambil berlari kembali kedalam ruangan dan menyambar tasnya.
Mike mengawasi dari balik mejanya. Membaca apa yang sedang terjadi.
Belum ‘kembali’ rupanya. Mike membatin dan menghela nafas panjang sambil kembali menekuni pekerjaannya.

Jess menatap piring dihadapannya. Lalu ganti menatap Sid yang sejak tadi hanya diam memandangi dirinya. Karena gugup, maka Jess memilih kembali menatap piringnya.
“Aku kembali dibuat gila karena dirimu”
Jess mendongak, kakinya terasa lemas dan tangannya dingin.
“Sejak aku mengantarmu pulang, aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Dan kali ini aku akan tegas” Ucap Sid sambil menyentuh jemari Jess. Sebelah tangannya merogoh kantong jas dan mengeluarkan kotak kecil. Ketika kotak itu dibuka, terlihat kilauan berlian yang berasal dari sebuah cincin.
“Jessie..maukah kau menikah denganku?”
Jess tersedak.
“Ap-apa?” Jess menenggak air sekenanya, yang membuatnya makin tersedak.
“Aku ingin menikah denganmu, aku tidak mau kehilangan kamu lagi” Ucapan Sid membuat kepala Jess pening. Ada yang salah. Belum sekalipun Jess bilang pada Sid bila Ia telah memiliki kekasih—lebih tepatnya tunangan. Dan kini, Sid melamarnya.
“Aku memberimu waktu untuk menjawabnya. Tapi aku ingin kau sungguh-sungguh memikirkannya. Karena aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu lagi”
Tatapan Sid membuai Jess.
Seandainya kamu datang setahun lebih cepat Sid, seandainya..

“Maafkan aku Sid, aku ingin sekali menikah denganmu. Sungguh. Tapi…” Jess menggantungkan kalimatnya dan melempar pandangan kearah lain, karena tak sanggup menatap mata Sid yang dicintainya. Sangat berat mengakui bahwa dirinya tidak bisa menerima lamaran Sid karena dirinya sudah bertunangan dengan pria lain. Sangat-sangat berat.
“Ada yang salah? Apa kau belum ingin menikah cepat? Baiklah kalau begitu aku akan menunggumu. Tapi aku hanya bisa memberi batas waktu dua tahun, kalau tidak jangan salahkan aku bila kau kuculik paksa dan menggendongmu kedepan altar” Mata Sid berbinar senang.
Seandainya masalahnya hanya tentang aku belum mau menikah.

“Bukan itu Sid. Aku..sudah bertunangan” Decit Jess sambil menundukan kepalanya dalam-dalam.
Mendadak sinar mata Sid hilang. Tatapannya berubah kosong. Butuh beberapa detik bagi Sid untuk kembali menguasai akal sehatnya.
“Kau..tidak pernah bilang”
“Maafkan aku Sid, maafkan aku”
“Kau..bahkan tidak menolak bercinta denganku”
“Maafkan aku Sid, maaf..a-aku..” Jess mulai merasa mual, pipinya basah oleh airmata.
“Jadi, apa artinya waktu kau bercinta denganku malam itu? Kau..tidakkah kau merasa bersalah pada tunanganmu?” Desis Sid, ada nada sakit hati di kalimatnya. Sid memang mencintai Jess. Namun Ia juga sama seperti Mike, Ia tidak bisa menerima pengkhianatan. Sid memang bersyukur bisa bersama Jess lagi malam itu. Namun sebagai sesama lelaki, Ia juga merasa bersalah pada tunangan Jess.
“Aku tidak akan berani mengajakmu bercinta bila tahu kau sudah bertunangan” Tegas Sid.
Jess tidak bisa menjawab sepatah katapun, Ia larut dalam tangisan tanpa suara. Hatinya sakit. Lebih sakit dari waktu Ia dicibir Mike. Dan kini, pria yang dicintainya juga mengucapkan kalimat yang mirip—bahkan lebih menusuk hati Jess.
Sid menghela nafas berat. Biarpun Ia merasa sakit, namun melihat wanita yang dicintainya menangis dihadapannya terasa lebih menyakitkan.

“Maaf..mungkin salahku juga tidak pernah bertanya” Ucap Sid berusaha menenangkan.
“Maafkan aku bila membuatmu berada di posisi yang sulit. Aku harap masih ada sedikit rasa penyesalan dihatimu karena telah mengkhianati tunanganmu sendiri”
Aku sudah sangat menyesal. Sampai ingin terjun dari tebing saja rasanya.
“Dan..maafkan. Meskipun aku akhirnya tahu kau sudah bertunangan, tapi aku tidak bisa menyerah sekarang. Aku tidak bisa menyerah untuk memiliki dirimu”
Jess berhenti menangis. Ditatapnya wajah Sid yang kini kembali tersenyum.
“Aku ingin kau tetap mempertimbangkan lamaranku. Tapi kau harus menyelesaikan dulu hubunganmu dengan tunanganmu. Aku akan menunggu..”
Hati Jess yang tadi kalut kembali hangat. Ia termangu.
Bagaimana caranya menyelesaikan hubunganku dengan Ben?


Ben menatap kanvas besar dihadapannya. Terlihat lukisan indah yang baru Ia selesaikan dengan komposisi beragam warna yang mempesona. Diliriknya kaleng besar cat berwarna hitam, dan menyambar sebuah kuas besar. Dalam sekejap kanvas itu sudah rapi tertutup cat, dengan hanya warna hitam yang terlihat. Ben terdiam lama, dengan bait lagu yang menggema di ruangan kerjanya.
I believe in you. You knock the door to my very soul. You're the light in my deepest darkest hour. You're my saviour when I fall..’ (The Bird and The Bee - How Deep is Your Love)



Udara mulai dingin. Jess merapatkan kancing jaketnya sambil berdiri menunggu taxi. Ia sengaja tidak membawa mobil hari ini. Ia memilih naik taxi karena sepanjang jalan bisa Ia habiskan dengan melamun menatap lampu jalanan. Akan sangat berbahaya bila Ia menyetir dengan kebiasaan melamunnya itu.
Jess melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Sudah satu jam Ia menunggu taxi. Jess menghela nafas panjang dan kembali tenggelam dalam lamunan. Memikirkan bagaimana caranya memutuskan Ben. Menimbang-timbang keputusan mana yang harus Ia ambil. Dan malam pun semakin larut.


Headline Tabloid gossip penuh dengan tulisan bercetak besar tentang hilangnya kekasih seorang seniman besar, atau model sekaligus jurnalis yang sepertinya diculik. Polisi sibuk menelusuri tiap jengkal kota. Dan telepon di meja kerja Mike Thor tak henti-hentinya berdering. Mike menyumpal kedua telinganya dengan earphone dan mengencangkan volume musik di Ipod nya. Tak peduli dengan deringan telepon yang terus menjerit. Tangannya gemetar, dan berkali-kali mengusapkan airmata yang sedikit menitik dari pelupuk matanya.
Jess, kau dimana?

Benjamin Wolfski melaporkan bahwa kekasihnya telah hilang kekantor polisi tiga hari yang lalu. Ia merasa ada yang tidak beres ketika seharian penuh tidak dapat menghubungi ponsel tunangannya itu. Apartemennya pun rapi, tidak ada pesan atau tanda apapun yang menandakan Ia diculik atau minggat entah kemana. Ben menjadi buruan wartawan gossip. Dan polisi belum mendapat bukti apapun selama tiga hari ini. Tidak ada pesan dari penculik dan tidak ada jejak.
Mike tidak dapat focus mengerjakan pekerjaanya. Atasan Mike memberi ijin Mike untuk cuti, namun Mike menolak dan tetap masuk kantor. Meskipun tidak ada satupun pekerjaan yang dapat Ia selesaikan. Seseorang rekan berada diruangan yang sama dengan Mike menepuk lembut bahu Mike yang sedang menatap monitor kosong—kebiasaan Mike yang baru.
“Ada tamu untukmu, namanya Sidney Hudson”
Mike melompat dari kursinya dan berlari keluar ruangan, tak lama dia masuk lagi dan menghampiri rekannya yang masih berdiri di depan mejanya.
“Dimana dia?”
“Di lobi barat, kau kabur sebelum aku menyelesaikan ucapanku..”
Dan Mike kembali berlari keluar ruangan, meninggalkan rekannya yang belum menyelesaikan kalimatnya.
Mike mendapati seorang pria tampan terbalut setelan mahal berdiri menatap jendela lobi. Tubuhnya tegap—hasil latihan fisik yang rutin. Rambutnya berwarna madu, terlihat berkilau dan sebagian jatuh menutupi dahinya. Kulit pria itu berwarna kecoklatan. Wanita yang melewatinya tak ada yang tidak bisa berpaling untuk mengagumi pria yang sepertinya tidak melihat siapapun ada dilobi itu. Tatapannya sedih dan kosong.
“Mr. Sidney?” Tanya Mike ragu
Sidney menoleh untuk mencari pemilik suara yang memanggil namanya.
“Ya. Dan anda..Mikey?” Tanya Sid mengulurkan tangannya.
Mike menyambut tangan Sid dan buru-buru menjawab.
“Mike, Mike Thor. Mikey itu panggilan yang kudapat dari Jess” Mike melihat ada kilatan cahaya ketika dirinya menyebut nama Jess.
“Maaf, aku hanya pernah mendengar Jessie menyebut nama sahabatnya—Mikey”
“No problem, well..apa yang membawamu kesini Mr. Sidney?” Tanya Mike
“Sid saja”
“Oh, oke”
Mike memberi isyarat pada Sid untuk duduk.
“Apa kau tahu kemana Jessie pergi?” Tanya Sid.
“Apa kau tidak tahu Ia menghilang?” Mike balik bertanya. Dilihatnya Sid seperti terkejut mendengar jawaban dirinya.
“Menghilang? Bisa tolong kau jelaskan?” Pinta Sid setengah memohon
“Sepertinya kau tidak berlangganan tabloid gossip”
Sid menunduk, matanya menyusuri pori-pori karpet.
“Aku tidak bisa menghubunginya. Teleponnya tidak aktif sampai hari ini. Aku mencarinya kesini dan mereka hanya bilang bahwa Jessie tidak datang kekantor sampai hari ini. Lalu aku ingat Ia pernah cerita tentang seorang sahabat bernama Mikey yang satu ruangan dengannya” Sid terbata-bata menjelaskan.
Mike tadinya benci pada pria ini, pria yang telah bercinta dengan Jess dan membuat Jess mengkhianati Ben. Tapi rasa benci itu menguap entah kemana ketika hari ini pria itu ada dihadapannya. Mike merasa pria tampan ini tulus mencintai Jess. Dan benar-benar khawatir karena Jess menghilang.

“Aku juga tidak tahu Jess pergi kemana” Ucapan Mike membuat Sid berhenti mengamati karpet. Ditatapnya bola mata Mike.
“Jessie menghilang setelah aku melamarnya”
Mike terperanjat.
“Kau melamarnya? Tapi, Jess kan..”
“Sudah bertunangan, ya aku baru tahu ketika aku melamarnya” Potong Sid.
Bahu Mike lemas. Ternyata memang prasangka buruknya terhadap Sid tidak benar. Dulu Ia mengira pria ini brengsek dan mengajak Jess bercinta walaupun tahu bahwa Jess telah bertunangan. Pandangan Mike terhadap Sid kini benar-benar berubah.

“Maafkan”
“Maaf untuk apa?” Tanya Sid bingung
“Maaf telah mengaggap kau pria perebut tunangan orang” Jawab Mike jujur
Sid tersenyum dan memberi isyarat ‘it’s oke
“Jadi..kau benar-benar tidak tahu alasan Jessie menghilang?” Tanya Sid
“Akupun sedang mencari jawaban” Ujar Mike singkat.
Well, kalau kau ada waktu kita bisa bicarakan masalah ini lagi nanti. Sepertinya aku harus segera pergi ketempat meeting di gedung sebelah” Sid mengulurkan kartu nama.
“Aku akan menghubungimu bila ada perkembangan berita tentang Jess” Janji Mike
“Terima kasih” Sid menjabat tangan Mike dan segera menghilang ke luar.
Mike memandang punggung Sid. Kepalanya kini penuh dengan pertanyaan.
Kupikir Jess menghilang bersama pria bernama Sid tadi. Ternyata tidak. Lalu, pergi kemana kau Jessica?


Seminggu sudah Jessica Marshall menghilang. Headline tabloid gossip kini berganti bertuliskan tentang pernikahan mewah artis Hollywood yang terkenal. Polisi dibuat pusing karena tidak ada satupun bukti dan saksi yang bisa membantu memecahkan misteri hilangnya wanita tersebut. Ben—kekasihnya, ada di tengah pesta pembukaan pameran lukisan karya terbarunya di gallery rekannya de malam Jess menghilang. Mike juga sempat dimintai keterangan, Ia sedang berada bersama teman-teman kampusnya dulu di sebuah apartemen dan menonton pertandingan bola sampai pagi.
Kamar Jess rapi, tidak ada tanda kekerasan. Yang hilang hanya tubuh Jess dan baju serta barang yang dia bawa di malam dirinya menghilang. Tidak ada surat wasiat. Tidak ada telepon dari penculik yang meminta tebusan. Tidak ada jejak. Seakan-akan Jess diculik lewat udara oleh mahluk asing.


Sidney menatap kotak berisi cincin yang Ia sodorkan pada Jess waktu melamarnya waktu itu. Airmata merembes keluar. Lagi-lagi Ia kehilangan Jess yang dicintainya. Dan hilangnya Jess kali ini menyisakan sesak yang tidak terhingga. Entah mengapa, Sid merasa kali ini Ia tidak akan bisa bertemu dengan Jess lagi. Dan memang Jess tidak akan pernah muncul lagi.
Sid menangis hingga tertidur. Dan dalam tidurnya Ia bertemu Jess. Jess tampak cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih. Sid bahagia bisa melihat Jess berdiri dihadapannya. Ia sangat merindukan Jess, dan ingin memeluknya. Namun langkahnya terhenti karena matanya terpaku pada ujung gaun. Sedetik kemudian ada setitik warna yang merembas dari ujung gaun pengantin Jess. Dengan cepat warna warni itu melunturi seluruh gaun pengantin itu. Gaun pengantin yang tadinya berwarna putih kini berwarna pelangi. Sid melihat tatapan Jess kosong. Dan dalam sekejap entah dari mana datangnya, gaun itu tersapu warna hitam kelam. Jess tersedot oleh entah apa dan perlahan menghilang. Sid dengan panic menggapai-gapai tangannya ingin menahan tubuh Jess yang menjauh. Namun udara disekeliling Sid mendadak hampa dan gelap. Dan kalimat terakhir yang samar didengarnya adalah
“Aku mencintaimu, maafkan aku Sid”
Sid terbangun dengan peluh disekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal dan tangannya mencari-cari gelas air yang berada di meja samping ranjangnya. Ada yang tidak beres dengan hilangnya Jess. Dan tadi Ia samar melihat sesuatu dimimpinya. Sesuatu yang membuat Sid merasa perlu mencari tahu kebenarannya. Pagi sekali, Sid sudah meninggalkan kamar hotelnya dan mengemudikan mobilnya menuju suatu tempat.


Ben menatap kanvas yang tergantung didinding kamarnya. Lukisan besar Jess—kekasihnya. Ben sangat mencintai Jess. Lukisan-lukisan potret Jess ada berpuluh-puluh buah dan semuanya tergantung rapi di rumahnya. Ben bertemu dengan Jess ketika dirinya mengelar pameran bersama seniman dunia dua tahun silam. Jess tidak sedang dalam tugas mencari berita, Ia datang menemani temannya yang kolektor lukisan untuk dipajang dirumah barunya. Sosok Jess yang berdiri disamping lukisan buatannya terlihat menyilaukan mata Ben. Ben jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan hari-hari berikutnya, mereka seperti dipertemukan oleh takdir karena selalu berada ditempat yang sama.
Ben tidak sanggup lagi untuk menahan gairah tiap Ia menatap tawa Jess yang menyilaukan. Ben ingin memiliki wanita itu. Dan tidak perlu waktu lama bagi Jess untuk menerima Ben yang menginginkan dirinya untuk menjadi kekasihnya. Setahun sudah mereka menjalin hubungan, dan Ben pun melamar Jess untuk mendampingi dirinya. Ben merasa, sosok riang Jess bisa menyinari dirinya yang suram.
Ben bahagia bersama Jess. Hingga kini Jess akhirnya menghilang entah kemana. Ben menghela nafas berat. Dirinya merasa kehilangan cahaya hidupnya, kehilangan wanita yang dicintainya. Dan Ia menyeret langkahnya kearah ruang kerja, tempat dimana Ia biasa melukis lukisan-lukisan yang dikagumi kolektor seni dunia.

Sid menatap sebuah lukisan. Tepatnya sebuah kanvas besar yang hanya terlihat warna hitam bertekstur di permukaannya. Yang membuat lukisan ini menarik adalah tulisan yang tertempel di papan di bawahnya.
Dibalik gelap ini ada keindahan. Ada warna warni yang menyilaukan. Aku menutupnya dalam hitam untuk menyelamatkan keindahan itu dari mata liar yang kejam. Dari nafsu yang menyesatkan. Dari pengkhianatan yang akan datang. Aku menyimpanya dalam diriku, karena keindahan itu hanya miliku seorang.’
Tubuh Sid dingin. Entah mengapa lukisan dan tulisan itu terasa mengerikan.

Sebulan setelah menghilangnya Jessica Marshall, ditemukan sosok mayat Benjamin Wolfski terbujur kaku didalam mobilnya dipinggir danau kota. Ben terlihat memeluk erat sebuah jaket wanita berwarna cream. Dan ternyata itu adalah jaket yang dipakai Jess ketika menghilang. Ben meninggal karena menghirup monoksida. Dugaan polisi, Ben bunuh diri karena depresi.

Mike terpaku pada Koran yang berada tepat di hadapannya. Pandangannya kosong, kakinya kehilangan rasa. Malam tadi, dua pria yang dikenalnya meninggal ditempat yang berbeda. Sidney Hudson ditemukan meninggal karena kecelakaan. Mobil Marcedes hitamnya terjun bebas ke jurang. Laporan dari penyelidik menemukan bahwa rem mobilnya rusak. Kabelnya terpotong dengan sengaja. Dan Benjamin Wolfski meninggal bunuh diri didalam mobilnya dengan menghirup monoksida. Polisi masih mencari bukti mengapa jaket milik Jessica Marshall bisa berada dalam pelukan Ben ketika meninggal. Mike menyandarkan tubuhnya di sofa, pasrah.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?Pertama Jess menghilang, kini Ben dan Sid meninggal bersamaan. God!


Jess berhasil menyetop taxi. Dia langsung masuk dan merapatkan tubuhnya yang kedinginan. Taxi menuju ke alamat yang Jess minta—rumah Ben. Jess masuk dengan kunci cadangan miliknya dan menemukan segelas jus buah kesukaannya tergeletak di atas meja. Ada sebuah catatan kecil di bawah gelasnya.
‘Untuk kekasihku, aku akan pulang telat’. Jess menengguk habis isi gelasnya dan buru-buru lari ke kamar mandi karena mendengar alarm mesin pemanas yang berbunyi.
“Dasar Ben ceroboh” Gumam Jess.
Sesampainya dikamar mandi, tubuhnya limbung. Sepertinya Ben memasukan obat tidur kedalam jus yang diminum Jess tadi.Yang dilihatnya terakhir kali adalah sebatang bunga mawar merah yang tergeletak dilantai. Dan makin lama pandangannya makin samar hingga akhirnya menghilang.
Ben sedang menikmati pesta pembukaan pamerannya. Wajahnya terlihat cerah dan sesekali ikut tertawa saat temannya melontarkan lelucon. Thomas Ronson—penggemar berat Ben menepuk bahunya dan berkata.
“Baru kali ini saya melihat anda tertawa riang, bukankan biasanya anda benci berada ditengah keramaian Mr. Ben?”
Ben membalas dengan raut wajah riang
“Karena aku lega sudah menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan”
“Karya anda makin luar biasa Mr. Ben, toast eh?” pinta Tom.

Ben sampai rumahnya tengah malam. Ia masuk kedalam menggunakan masker yang biasanya dipakai bila harus melukis di dalam ruangan dengan Pilox. Mengunci pintu dan masuk kekamar mandi—tempat dimana tubuh Jess sudah terbujur kaku. Mematikan gas dari mesin pemanas air dikamar mandi dan membopong tubuh tak bernyawa Jess kekamarnya. Melucuti pakaiannya satu persatu dan menyetubuhi mayat Jess dengan penuh nafsu. Setelah puas, Ben membopong lagi mayat Jess ke halaman belakang.
Halaman itu ditumbuhi beberapa semak mawar yang ditanamnya atas permintaan Jess dulu. Diantara rimbunnya semak mawar itu sudah ada lubang yang dalam. Dilemparnya mayat Jess kedalam lubang beserta pakaian dan barang-barang milik kekasihnya. Hanya jaket cream saja yang tertinggal. Ben tahu, itu jaket kesayangan Jess.
Ditimbunnya mayat Jess dengan tanah, dan Ben kembali merapikan semak mawar serta menambah beberapa bibit mawar yang baru. Setelah mandi, Ben tertidur pulas dengan memeluk erat jaket milik Jess yang kini tertanam dihalaman belakang. Paginya Ben bangun dengan segar dan segera pergi ketempat laundry, setelah membersihkan lantai kamar mandi serta rumahnya dan tak lupa menyemprot pewangi ruangan banyak-banyak.

Tubuh Sid tenggelam dalam tumpukan dokumen yang berisi pekerjaan. Tapi pandangannya kosong menatap kotak berisi cincin untuk Jess. Batinnya kian berkecamuk. Sebagai pengacara, nalurinya berkata misteri hilangnya Jess terasa janggal. Dan kini Ia sedang mencari serpihan bukti yang didapatnya berkat mimpinya waktu itu. Sid melihat sebuah lukisan yang pernah dilihatnya terpajang di gallery. Dan tanpa sadar, Sid yang kelelahan pun tertidur menelungkup diatas meja kerjanya.
“Tolong..”
Sid terbangun karena mendengar suara Jess berbisik ditelinganya. Tidak ada siapapun diruangan itu. Sid bangkit dari duduknya dan berlari ke tempat parkir. Sid merasa harus kembali ke gallery tempat lukisan yang pernah dilihatnya sekali lagi. Sid merasa Jess memanggilnya kesana.
Gallery itu lenggang, pengunjung terakhir hanyalah Sid seorang. Merasa tidak menemukan petunjuk apa-apa, Sid pun keluar dengan langkah gontai. Sid sudah mendekati mobilnya ketika suara berat seorang pria memanggil namanya.
“Sidney Hudson!”
Sid mendapati seorang pria tinggi kurus dengan jeans, jas dan kaus berwarna hitam berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Rambut pria itu hitam dan kulitnya berwarna pucat. Pria itu sebenarnya tampan, namun entah mengapa Sid merasa Ia terlihat suram. Sid sedang menyelidik pada tiap senti pria yang tadi memanggilnya itu dan matanya terhenti pada sesuatu yang berada dalam genggaman pria misterius itu. Jaket cream milik Jess.
“Benar kau yang bernama Sidney Hudson?” Tanya pria pucat dihadapan Sid
“Ya, dan anda?” Sid balik bertanya
“Saya tunangan Jess” Pria yang mengaku tunangan Jess mengacungkan jaket cream itu.
“Kenapa jaket itu ada padamu? Kau..kau tahu dimana Jess berada?” Sid berusaha untuk tidak terdengar panic.
Pria dihadapannya hanya menaikan sebelah alisnya.
“Dia ada dihalaman rumahku”
Sid merasa seperti ada yang menonjok tepat di ulu hatinya.
Dihalaman rumahnya? Apa maksud pria ini? Apa dia benar tunangan Jess? Atau hanya orang gila yang mengaku sebagai tunangannya? Tapi bagaimana Ia bisa memiliki jaket itu? Itu adalah jaket yang Jess kenakan waktu Ia menghilang. Aku pernah bertanya pada tim polisi yang menyelidiki kasus ini.

Lamunan Sid buyar karena melihat pria tadi masuk kedalam mobil dan menyalakan mesinnya. Sepertinya berniat kabur. Sid langsung sigap membuka pintu mobil dan juga menyalakan mesin mobilnya, bersiap mengejar. Dia tidak akan melepaskan pria itu. Dia harus mendapatkan jawaban.
Mobil sport Ben melaju dengan kecepatan tinggi. Ia hapal betul tiap lekuk jalan yang berliku itu. Dibelakangnya ada mobil Sid yang sejak tadi mengekor. Didepan sana, ada sebuah tikungan tajam. Sid menginjak rem untuk menyeimbangkan tikungan dari kecepatan mobilnya. Dan yang terakhir Sid lihat, dia dan mobilnya terjun bebas kedalam jurang. Rem mobilnya sudah dipotong Ben sewaktu Sid berada didalam gallery tadi.
Ben mengamati kejadian itu lewat kaca spionnya. Tersenyum senang dan bergumam.
“Berterima kasihlah padaku, karena aku sudah membiarkanmu membawa cintamu sampai mati”

Ben memarkir mobil sport eropa miliknya dipinggir danau kota. Tempat dimana dulu dia melamar Jess kekasihnya. Airmata Ben menetes dipipinya, namun raut wajah Ben sama sekali tidak berubah. Ben menangis tanpa ekspresi, tanpa suara. Diciuminya jaket Jess yang sejak tadi digenggamnya.
“Mengapa kau tega mengkhianatiku? Tidak tahukah kau, aku sangat mencintaimu?”
“Bagiku, kau adalah keindahan yang hanya boleh aku nikmati sendiri.”
“Aku merindukanmu..”
Ben terus menangis sambil bergumam. Ia menenggak beberapa pil tidur. Dan Ia tertidur dalam mobil yang terparkir dipinggir danau kota dengan mesin masih menyala. Ben tidak pernah bangun lagi.



Ben baru akan tertidur setelah lelah bercinta dengan Jess ketika mendapati layar ponsel kekasihnya berkedip. Diraihnya ponsel yang tergeletak itu dan berniat membangunkan Jess. Namun Ia mengurungkan niatnya karena melihat Jess sudah tertidur pulas. Dan matanya kini terpaku menatap layar yang memunculkan sebuah nama asing yang belum pernah dikenalnya. Sidney Hudson.
Ben menekan tombol terima dan mendengar suara pria diujung sana.
“Jessie, sayangku..jangan berkata apapun dan tolong dengarkan aku. Aku..mencintaimu. Aku tidak bisa melupakan malam indah kemarin dan kamarku ini penuh dengan aroma tubuhmu yang menyiksaku. Itu saja..e-eeh aku mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu sampai mati. Selamat tidur”
Tuut..tuut’
Dan telepon pun ditutup. Ben memandang wajah cantik kekasihnya dan tak lama Ia menjatuhkan kepalanya kedada Jess. Tertidur.
Kalian memang harus membawa cinta itu sampai mati.


One day in your life. You remember the love you found it. You remember me somehow. Now you though leave me now. I will stay in your heart..’

End.

Tangerang, 29 January 2012. 22:58 PM

Another blog:  http://butchill-sangbetina.blogspot.com/ and http://butchill.blogspot.com/